Laman

Kamis, 07 Juni 2012

cerpen : pemuda, pemuja rahasia


“Mungkin kau tak kan pernah tahu, betapa mudahnya kau tuk dikagumi...
Mungkin kau tak kan pernah sadar, betapa mudahnya kau tuk dicintai...”

Kost Rajawali selalu dihiasi dengan lirik-lirik itu. Alunan lagu pemuja rahasia yang dinyanyikan oleh Sheila On 7 itu selalu saja terdengar dari speaker kamar kos paling ujung, di pagi hari, dan setiap hari. Dan pemilik kamar berwarna biru Turqois itu adalah Rian, Oktarian Nugraha nama lengkapnya. Seorang mahasiswa Aktif berasal dari Jakarta. Biasanya speakernya mulai aktif beberapa saat setelah Azan Subuh berkumandang. Setelah solat Subuh di masjid yang tidak begitu jauh dari kos, maka mulailah “kebiasaan” Rian yang tidak bisa ditinggalkan, (kecuali jika mati lampu atau Rian tidak berada di kost), yaitu bernostalgia memandang langit sambil berkaraoke lagu wajib “Pemuja Rahasia”. Saat ini dia sedang menempuh perkuliahan di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Wanita yang dicintai Rian bernama Mutia Faradila, akhwat bermata indah dengan tahi lalat yang berada di kening sebelah kiri, dan memiliki lesung pipit di pipinya yang bersih. Dia berasal dari Belitong, daerah dimana Andrea Hirata tumbuh dan berkembang sebagai “Ikal” dalam komplotan Laskar Pelangi. Saat ini dirinya sedang duduk di bangku perkuliahan, di FMIPA Universitas Negeri Riau.

Pertemuan mereka (untuk pertama kalinya) terjadi saat mereka mendaftar di SMA yang sama dan di tahun yang sama. Mutia yang jauh dari Belitong mendaftar di sekolah itu, karena mengikuti orangtuanya yang bekerja sebagai pengusaha. SMA 17 Pagi Jakarta Barat menjadi saksi bisu dari pertemuan mereka. SMA yang mendidik siswanya dengan berlandaskan Iman dan Taqwa. SMA yang berusaha menghapuskan kata “menyontek dan pacaran” dari kamus pergaulan remaja.

Mungkin tidak ada yang spesial dari hubungan antar keduanya, karena mereka sangat jarang berkomunikasi secara langsung, jika pun pernah itu hanya karena mereka berada dalam satu divisi dalam kepengurusan OSIS, dan pembicaraan yang terjadi di antara mereka hanya berkisar mengenai acara-acara intra sekolah. Tidak ada yang lain. Mereka dipisahkan oleh dinding-dinding kelas yang berhiaskan daftar pelajaran dan daftar piket, tidak lupa foto Presiden dan Wakil Presiden serta burung garuda.
Saat SMA, Rian adalah siswa jurusan Bahasa, sedangkan Mutia adalah siswi jurusan IPA dan memiliki pengetahuan yang luar biasa. Terbukti dengan seringnya dia mengikuti lomba Kimia dan pidato bahasa Jerman. Rian juga memiliki prestasi yang membanggakan. Rian pernah memenangkan lomba lukis se-SMA nasional dalam ajang Festival Seni yang diadakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.

Sejarah bertemunya Rian terjadi saat MOS. Rian dan Mutia berada pada tim yang sama, yaitu tim merah. Mereka memiliki postur tubuh yang sama-sama gitu deh, maka mereka selalu mendapatkan posisi berdiri paling depan dalam tim. Bukannya pendek, tetapi tidak lebih tinggi dari yang lain. Hari demi hari dilewati tanpa kedekatan yang berarti, akan tetapi Rian selalu up to date dalam hal informasi mengenai Mutia, terkadang Rian menanyakan keadaan dan kegiatan Mutia kepada teman-teman Mutia, terkadang dia mencari tahu sendiri. Rian mencintai Mutia begitu besar, sangat besar ekspektasi Rian kepada Mutia. Akan tetapi Mutia tidak pernah tahu tentang hal itu.

Pernah pada saat pulang sekolah, Rian menunggu Mutia di gerbang sekolah. Rian meyakini, Mutia akan pulang lebih lambat karena pada hari ini Mutia mendapat giliran piket. Akhirnya setelah menunggu beberapa waktu, Rian bertemu Mutia. Rian sudah memiliki rangkaian kata-kata yang indah yang akan dia berikan diulang tahun Mutia yang ke 16. Tapi saat pertemuan di gerbang sekolah terjadi Riang hanya mengucapkan tiga kata yang sangat standar, “selamat ulang tahun, Mutia”. Thats it! Ribuan rangkaian kata yang tersusun tiba-tiba ambyar seketika.    

Rian bukannya tidak berani mengucapkan kata cinta pada Mutia, akan tetapi Mutia memang adalah tipe akhwat yang tidak ingin berpacaran. Dan menjaga hijab dengan lawan jenis. Dia hanya ingin mencintai orang yang telah halal baginya, dan untuk saat ini, mengajukan proposal untuk pacaran adalah hal yang buruk, karena itu sama sekali bukan cara Mutia dalam berbagi cinta.

Rian juga terkadang mencari perhatian dengan cara pura-pura salah sms, meminjam buku, mengajak belajar bersama, dan berbagai cara pendekatan konvensional lainnya. Tapi hal ini sia-sia. Mutia adalah seorang akhwat yang kukuh atas iman dan pendiriannya.

Pernah suatu kali Rian ditanyai oleh teman sekelas Mutia yang mana dia sering memberi informasi kepada Rian mengenai Mutia. Teman tersebut bertanya:
“Rian, lu pengen serius nggak sama si Mutia?”
Dengan tegas Rian menjawab “siap dong! Ngapain aja gue selama 3 tahun ini nungguin Mutia untuk jadi pemuja rahasianya dia? Gue serius bro! Tapi ngomong-ngomong, kenapa lu nanya kayak gitu?”
“Berarti lu harus lamar dia!” balas si teman
“haaa?! Wah, bro... gila lu! Serius sih serius, tapi ga gitu juga kali. Kok harus pakai lamaran segala?” Rian penasaran
“soalnya Mutia itu bukan wanita yang sembarangan bro, dia itu benar-benar menjaga akhlak dan perilakunya. Dia tidak akan memberikan membagi cintanya kepada orang yang belum halal baginya” si teman menjawab pertanyaan Rian.
“masa’ harus nikah dulu? Kan kita haru kuliah dulu? Cari kerja dulu? Hidup mapan dulu, bisa ngasih makan, baru deh nikah. Masa baru umur 18 udah nikah? Kan menurut pemerintah, usia minimal nikah itu 22 untuk cowok dan 20 untuk cewek. Gimana sih?” Rian memberikan argumen.
“pokoknya pas perpisahan sekolah, gue mau ngasih tau Mutia kalau selama ini aku mencintainya. Begitu menyanyanginya. Aku love at the first sight pada dirinya! Aku bakal minta dia nunggu aku sampai kita sama-sama menamatkan kuliah, baru kami nikah. Dengan begitu kan akan lebih baik” Rian kembali berargumen.
“jadi selama 4 tahun kuliah, lu bakal menggantung dia tanpa kepastian kayak gitu?” Si teman bertanya, akan tetapi langsung menimpali “Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan”
“Maksudnya?” Rian bingung dengan perkataan si teman.
“Lu udah baca catatan terbarunya Mutia di Facebook?
“belum, emangnya dia bikin tulisan apa?” Rian balik bertanya.
“lihat aja ndiri...”
Setelah pertemuan dengan teman sekelas Mutia, Rian langsung kabur menuju warnet terdekat untuk membaca catatan yang ditulis Mutia di facebook. Dan dengan seksama Rian membaca catatan tersebut.

MENCINTAI SEJANTAN ‘ALI
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. ‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.

-selesai-

Membaca catatan yang dibuat oleh Mutia, membuat Rian semakin merasa bersalah jika menyampaikan perasaannya sedangkan dia belum siap menerima konsekuensi dari tindakannya. memang seharusnya tindakan seperti ‘Ali-lah yang harus dia lakukan. Cinta tak pernah meminta untuk menanti, ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilahkan. Yang ini pengorbanan. Sejak saat itu Rian mulai berhenti berpikir untuk menjadikan Mutia “hanya” sebagai pacar.
Lama waktu berselang, sampailah pada saat acara perpisahan sekolah. Itu adalah kali terakhir Rian bertemu dengan Mutia. Mutia mendapatkan beasiswa undangan ke Universitas Negeri Riau, di FMIPA. Sedangkan Rian tetap memilih untuk bersekolah di Jakarta.
Perpisahan itu tidak akan terlupakan oleh Rian, karena pada saat acara itu, Mutia mulai membuka percakapan dengannya saat sedang mengambil makanan.
Memang mereka berbicara seperti biasa. Tapi, satu kalimat yang terlontar dari mulut Mutia yang membuat jantung Rian berdegup kencang, “Semoga kita bisa bertemu lagi Yan, saat kita sudah menjadi orang yang sukses dan memulai kehidupan yang baru. Suatu saat nanti.”, entah apa maksud pernyataan Mutia saat perpisahan itu. Rian memiliki penalaran  tersendiri mengenai kalimat tersebut.
Sekarang sudah 3 tahun dia berpisah dengan Mutia, tapi belum ada satu wanita pun yang dapat menggeser posisi Mutia di hatinya. Sudah 6 tahun dia memendam rasa yang akan diperjuangkan kehalalannya. Rian terus berusaha untuk mendapatkan hatinya, mungkin tidak saat ini, mungkin di lain hari.
Dan beberapa hal yang semakin menguatkan Rian untuk membiarkan rasa ini tetap seperti apa adanya dan akan membuat dia menjadi pemuja rahasia sampai saat bahagia itu tiba. Banyak hal yang menguatkan Rian untuk mencegah terjadinya zina hati antara mereka berdua, yang di dalam diskusi rohis sering disebut sebagai “Virus Merah Jambu”.
Salah satu kata-kata mutiara yang paling ampuh yang dia dapatkan dalam Al-Quran adalah “Lelaki yang baik hanya untuk wanita yg baik”. Jadi, ketika Mutia yang jauh di sana sedang berusaha menjaga hati, mengapa Rian juga tidak berusaha untuk menjaga hatinya?

Dan itulah yang menyebabkan Rian masih menjomblo hingga saat ini. Dan selama itu pula, lagu “Pemuja Rahasia Sheila on 7” akan terus terdengar dari kamarnya.
Sepertinya Rian akan mulai bergerak saat jarak dan bangku perkuliahan tidak lagi memisahkan mereka. Ya, mungkin 1 tahun lagi. Saat mereka mendapat gelar sarjana.


karena hanya dengan perasaan rinduku yang dalam padamu  
  ku pertahankan hidup
  maka hanya dengan jejak-jejak hatimu
  ada artiku telusuri hidup ini
  selamanya hanya ku bisa memujamu
  selamanya hanya ku bisa merindukanmu

T.A.M.A.T



nb: terima kasih kepada Salim A.Fillah atas inspirasinya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar