“Mungkin kau tak kan pernah tahu, betapa mudahnya
kau tuk dikagumi...
Mungkin kau tak kan pernah sadar, betapa mudahnya
kau tuk dicintai...”
Kost Rajawali selalu
dihiasi dengan lirik-lirik itu. Alunan lagu pemuja rahasia yang dinyanyikan
oleh Sheila On 7 itu selalu saja terdengar dari speaker kamar kos paling ujung,
di pagi hari, dan setiap hari. Dan pemilik kamar berwarna biru Turqois itu adalah Rian, Oktarian
Nugraha nama lengkapnya. Seorang mahasiswa Aktif berasal dari Jakarta. Biasanya
speakernya mulai aktif beberapa saat setelah Azan Subuh berkumandang. Setelah
solat Subuh di masjid yang tidak begitu jauh dari kos, maka mulailah
“kebiasaan” Rian yang tidak bisa ditinggalkan, (kecuali jika mati lampu atau
Rian tidak berada di kost), yaitu bernostalgia memandang langit sambil
berkaraoke lagu wajib “Pemuja Rahasia”. Saat ini dia sedang menempuh
perkuliahan di sebuah perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Wanita yang dicintai
Rian bernama Mutia Faradila, akhwat bermata indah dengan tahi lalat yang berada
di kening sebelah kiri, dan memiliki lesung pipit di pipinya yang bersih. Dia
berasal dari Belitong, daerah dimana Andrea Hirata tumbuh dan berkembang
sebagai “Ikal” dalam komplotan Laskar Pelangi. Saat ini dirinya sedang duduk di
bangku perkuliahan, di FMIPA
Universitas Negeri Riau.
Pertemuan mereka
(untuk pertama kalinya) terjadi saat mereka mendaftar di SMA yang sama dan di
tahun yang sama. Mutia yang jauh dari Belitong mendaftar di sekolah
itu, karena mengikuti orangtuanya yang bekerja sebagai pengusaha. SMA 17 Pagi Jakarta Barat menjadi
saksi bisu dari pertemuan mereka. SMA yang mendidik siswanya dengan
berlandaskan Iman dan Taqwa. SMA yang berusaha menghapuskan kata “menyontek dan
pacaran” dari kamus pergaulan remaja.
Mungkin tidak ada
yang spesial dari hubungan antar keduanya, karena mereka sangat jarang
berkomunikasi secara langsung, jika pun pernah itu hanya karena mereka berada
dalam satu divisi dalam kepengurusan OSIS, dan pembicaraan yang terjadi di
antara mereka hanya berkisar mengenai acara-acara intra sekolah. Tidak ada yang
lain. Mereka dipisahkan oleh dinding-dinding kelas yang berhiaskan daftar
pelajaran dan daftar piket, tidak lupa foto Presiden dan Wakil Presiden serta
burung garuda.
Saat SMA, Rian adalah siswa
jurusan Bahasa, sedangkan Mutia adalah siswi jurusan IPA dan memiliki
pengetahuan yang luar biasa. Terbukti dengan seringnya dia mengikuti lomba
Kimia dan pidato bahasa Jerman. Rian juga memiliki prestasi yang membanggakan. Rian
pernah memenangkan lomba lukis se-SMA nasional dalam ajang Festival Seni yang
diadakan oleh Departemen Pendidikan Nasional.
Sejarah bertemunya
Rian terjadi saat MOS. Rian dan Mutia berada pada tim yang sama, yaitu tim
merah. Mereka memiliki postur tubuh yang sama-sama gitu deh, maka mereka selalu mendapatkan posisi berdiri paling
depan dalam tim. Bukannya pendek, tetapi tidak lebih tinggi dari yang lain.
Hari demi hari dilewati tanpa kedekatan yang berarti, akan tetapi Rian selalu up to date dalam hal informasi mengenai
Mutia, terkadang Rian menanyakan keadaan dan kegiatan Mutia kepada teman-teman
Mutia, terkadang dia mencari tahu sendiri. Rian mencintai Mutia begitu besar,
sangat besar ekspektasi Rian kepada Mutia. Akan tetapi Mutia tidak pernah tahu
tentang hal itu.
Pernah pada saat
pulang sekolah, Rian menunggu Mutia di gerbang sekolah. Rian meyakini, Mutia
akan pulang lebih lambat karena pada hari ini Mutia mendapat giliran piket.
Akhirnya setelah menunggu beberapa waktu, Rian bertemu Mutia. Rian sudah
memiliki rangkaian kata-kata yang indah yang akan dia berikan diulang tahun
Mutia yang ke 16. Tapi saat pertemuan di gerbang sekolah terjadi Riang hanya
mengucapkan tiga kata yang sangat standar, “selamat ulang tahun, Mutia”. Thats it! Ribuan rangkaian kata yang
tersusun tiba-tiba ambyar seketika.
Rian bukannya tidak
berani mengucapkan kata cinta pada Mutia, akan tetapi Mutia memang adalah tipe akhwat
yang tidak ingin berpacaran. Dan menjaga hijab dengan lawan jenis. Dia hanya
ingin mencintai orang yang telah halal baginya, dan untuk saat ini, mengajukan
proposal untuk pacaran adalah hal yang buruk, karena itu sama sekali bukan cara
Mutia dalam berbagi cinta.
Rian juga terkadang
mencari perhatian dengan cara pura-pura salah sms, meminjam buku, mengajak
belajar bersama, dan berbagai cara pendekatan konvensional lainnya. Tapi hal
ini sia-sia. Mutia adalah seorang akhwat yang kukuh atas iman dan pendiriannya.
Pernah suatu kali
Rian ditanyai oleh teman sekelas Mutia yang mana dia sering memberi informasi
kepada Rian mengenai Mutia. Teman tersebut bertanya:
“Rian, lu pengen serius nggak sama si Mutia?”
Dengan tegas Rian
menjawab “siap dong! Ngapain aja gue
selama 3 tahun ini nungguin Mutia
untuk jadi pemuja rahasianya dia? Gue
serius bro! Tapi ngomong-ngomong, kenapa
lu nanya kayak gitu?”
“Berarti lu harus lamar dia!” balas si teman
“haaa?! Wah, bro...
gila lu! Serius sih serius, tapi ga gitu juga kali. Kok harus pakai
lamaran segala?” Rian penasaran
“soalnya Mutia itu
bukan wanita yang sembarangan bro, dia itu benar-benar menjaga akhlak dan
perilakunya. Dia tidak akan memberikan membagi cintanya kepada orang yang belum
halal baginya” si teman menjawab pertanyaan Rian.
“masa’ harus nikah
dulu? Kan kita haru kuliah dulu? Cari kerja dulu? Hidup mapan dulu, bisa ngasih makan, baru deh nikah. Masa baru
umur 18 udah nikah? Kan menurut pemerintah, usia minimal nikah itu 22 untuk
cowok dan 20 untuk cewek. Gimana sih?” Rian memberikan argumen.
“pokoknya pas perpisahan sekolah,
gue mau ngasih tau Mutia kalau selama ini aku mencintainya. Begitu menyanyanginya.
Aku love at the first sight pada dirinya! Aku bakal minta dia nunggu aku sampai
kita sama-sama menamatkan kuliah, baru kami nikah. Dengan begitu kan akan lebih
baik” Rian kembali berargumen.
“jadi selama 4 tahun
kuliah, lu bakal menggantung dia tanpa kepastian kayak gitu?” Si teman
bertanya, akan tetapi langsung menimpali “Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau
mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan”
“Maksudnya?”
Rian bingung dengan perkataan si teman.
“Lu udah
baca catatan terbarunya Mutia di Facebook?
“belum,
emangnya dia bikin tulisan apa?” Rian balik bertanya.
“lihat aja
ndiri...”
Setelah pertemuan
dengan teman sekelas Mutia, Rian langsung kabur menuju warnet terdekat untuk
membaca catatan yang ditulis Mutia di facebook. Dan dengan seksama Rian membaca
catatan tersebut.
MENCINTAI
SEJANTAN ‘ALI
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali
yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. ‘Ali tak tahu apakah rasa
itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar
kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan
paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan
harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak
diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu
batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah
ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin
justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan
pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu
Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas
menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr
berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang
masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah,
Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan
kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim
yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga
Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi
finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan
Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari
keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas
diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau
pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali
terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum
berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah ’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al
Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu
Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu
Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi
Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan
bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi,
dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu
’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi.’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu
naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab
akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi
yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit
ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai
dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap
menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih
layak. Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Ia
mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau
mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu
meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang
dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi
Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar
Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu
sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya
’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin
mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d
ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba
kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa
engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang
bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka
dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk
makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu
memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu
sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”,
begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin
bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu
meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan
ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan
cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan!
Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang
mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini,
cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau
mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah
keberanian.
-selesai-
Membaca
catatan yang dibuat oleh Mutia, membuat Rian semakin merasa bersalah
jika menyampaikan perasaannya sedangkan dia belum siap menerima konsekuensi
dari tindakannya. memang seharusnya tindakan seperti ‘Ali-lah yang harus dia
lakukan. Cinta tak pernah meminta untuk menanti, ia mengambil kesempatan. Itulah
keberanian. Atau mempersilahkan. Yang ini pengorbanan. Sejak saat itu Rian
mulai berhenti berpikir untuk menjadikan Mutia “hanya” sebagai pacar.
Lama waktu
berselang, sampailah pada saat acara perpisahan sekolah. Itu adalah kali
terakhir Rian bertemu dengan Mutia. Mutia mendapatkan
beasiswa undangan ke Universitas Negeri Riau, di FMIPA. Sedangkan Rian tetap
memilih untuk bersekolah di Jakarta.
Perpisahan itu tidak akan terlupakan oleh Rian, karena pada saat acara
itu, Mutia mulai membuka percakapan dengannya saat sedang mengambil makanan.
Memang mereka berbicara seperti biasa. Tapi, satu kalimat yang terlontar
dari mulut Mutia yang membuat jantung Rian berdegup kencang, “Semoga kita bisa
bertemu lagi Yan, saat kita sudah menjadi orang yang sukses dan memulai
kehidupan yang baru. Suatu saat nanti.”, entah apa maksud pernyataan Mutia saat
perpisahan itu. Rian memiliki penalaran
tersendiri mengenai kalimat tersebut.
Sekarang sudah 3 tahun dia berpisah dengan Mutia, tapi belum ada satu
wanita pun yang dapat menggeser posisi Mutia di hatinya. Sudah 6 tahun dia
memendam rasa yang akan diperjuangkan kehalalannya. Rian terus berusaha untuk
mendapatkan hatinya, mungkin tidak saat ini, mungkin di lain hari.
Dan beberapa hal yang
semakin menguatkan Rian untuk membiarkan rasa ini tetap seperti apa adanya dan
akan membuat dia menjadi pemuja rahasia sampai saat bahagia itu tiba. Banyak
hal yang menguatkan Rian untuk mencegah terjadinya zina hati antara mereka
berdua, yang di dalam diskusi rohis sering disebut sebagai “Virus Merah Jambu”.
Salah satu kata-kata mutiara
yang paling ampuh yang dia dapatkan dalam Al-Quran adalah “Lelaki yang baik
hanya untuk wanita yg baik”. Jadi, ketika Mutia yang jauh di sana sedang
berusaha menjaga hati, mengapa Rian juga tidak berusaha untuk menjaga hatinya?
Dan itulah yang menyebabkan
Rian masih menjomblo hingga saat ini. Dan selama itu pula, lagu “Pemuja Rahasia
Sheila on 7” akan terus terdengar dari kamarnya.
Sepertinya Rian akan mulai bergerak saat jarak dan bangku perkuliahan
tidak lagi memisahkan mereka. Ya, mungkin 1 tahun lagi. Saat mereka mendapat
gelar sarjana.
karena hanya dengan perasaan rinduku yang dalam padamu
ku pertahankan hidup
maka hanya dengan jejak-jejak hatimu
ada artiku telusuri hidup ini
selamanya hanya ku bisa memujamu
selamanya hanya ku bisa merindukanmu
ku pertahankan hidup
maka hanya dengan jejak-jejak hatimu
ada artiku telusuri hidup ini
selamanya hanya ku bisa memujamu
selamanya hanya ku bisa merindukanmu
T.A.M.A.T
nb: terima kasih kepada Salim A.Fillah atas inspirasinya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar